Majelis Wakil Cabang NU (MWC-NU)
Mlarak Ponorogo

Safari Ramadhan ke-7 Klp 1 di Musolla an-Nur Ngledok, Mlarak: Renungan tentang Kematian dan Filosofi Jawa Macapat

Pada malam ke-7 Safari Ramadhan Klp 6 PRNU Desa Mlarak yang dibersamai langsung oleh Rais Syuriah, Dr. Nur Kolis, berlangsung di Musolla an-Nur Ngledok, Mlarak, suasana penuh hikmah tercipta dengan lantunan suara merdu dari Imam Kyai Suryo Surono. Acara yang dipenuhi dengan keberkahan ini menghadirkan penceramah, Kyai Meisto, yang menyampaikan sebuah tema yang sangat mendalam tentang kehidupan dan kematian, yakni “Kullu nafs dzaiqatul maut” yang artinya “Setiap jiwa akan merasakan mati.”

Kyai Meisto mengajak para jamaah untuk merenungkan tahapan perjalanan hidup manusia yang dipaparkan melalui filosofi Jawa Macapat. Beliau menjelaskan setiap fase dalam kehidupan yang tercermin dalam urutan macam-macam tembang macapat, mulai dari maskumambang, mijil, kinanti, sinom, asmarandana, gambuh, hingga megatruh dan pucung. Setiap tahapan ini memiliki makna tersendiri dan mengajarkan kita untuk memahami pahit getirnya hidup dengan bijaksana, agar dapat mengambil hikmah dari setiap perjalanan hidup tersebut.

Kyai Meisto juga menyampaikan bahwa dengan memahami proses kehidupan ini, kita dapat lebih siap menjalani hidup dengan penuh keberkahan dan mencapai akhir yang baik, yaitu husnul khotimah. Pesan ini sangat relevan, mengingat Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk memperdalam pemahaman spiritual dan meningkatkan kualitas diri.

 

Selain itu, acara ini juga disertai dengan pembagian 10 paket sembako kepada warga yang membutuhkan, yang diserahkan langsung oleh Bapak Mulud, Imam Musolla an-Nur dan para pengurus takmir. Alhamdulillah, jumlah paket sembako pada malam ini bertambah berkat donasi yang diberikan oleh para dermawan, bukan saja dari donatur Desa Mlarak, tetapi juga dari luar. Terima kasih kepada Mas Doni Prabu Motor Ponorogo, yang menyumbangkan 70 paket beras untuk disalurkan kepada para mustahiq di bulan yang penuh berkah ini. Semoga dibalas oleh Allah dengan balasan yang berlipat ganda. Terima kasih kepada seluruh donatur yang telah membantu sehingga acara ini semakin membawa manfaat bagi banyak orang.

Safari Ramadhan malam ke-7 ini semakin terasa syahdu dengan iringan gerimis yang turun, menambah kesan khusyuk dan penuh keberkahan dalam setiap doa dan renungan yang dipanjatkan. Semoga seluruh umat yang hadir senantiasa diberikan kemudahan dalam menjalani ibadah Ramadhan dan memperoleh keberkahan dalam setiap langkah hidupnya.

 

 

Filosofi Jawa Macapat

Filosofi Jawa Macapat berkaitan erat dengan siklus kehidupan manusia, yang tercermin dalam urutan tembang-tembangnya. Setiap tembang dalam Macapat menggambarkan fase tertentu dalam kehidupan, mulai dari kelahiran hingga kematian, mencerminkan perjalanan jiwa dan eksistensi manusia. Berikut adalah penjelasan tentang filosofi yang terkandung dalam setiap tembang Macapat:

  1. Maskumambang:
    Tembang pertama ini menggambarkan fase awal kehidupan, yaitu kelahiran atau awal mula. Dalam filosofi Jawa, “maskumambang” sering diartikan sebagai fase kehidupan yang penuh potensi dan harapan. Pada masa ini, manusia memasuki dunia dan memulai perjalanan hidupnya. Tembang ini berhubungan dengan kehadiran manusia yang baru muncul di dunia, sebagaimana makna awal kelahiran.
  2. Mijil:
    Tembang “mijil” menggambarkan masa pertumbuhan, di mana individu mulai mengekspresikan diri dan mengalami perkembangan pribadi. Masa ini adalah masa di mana seseorang mulai mencari jati diri dan memahami dunia sekitarnya. “Mijil” mengandung makna kebangkitan atau munculnya kesadaran, seperti seseorang yang mulai mengenal dan menghadapinya kehidupan dengan segala tantangannya.
  3. Kinanti:
    Tembang ini menggambarkan masa remaja atau pemuda yang penuh dengan semangat dan cita-cita. “Kinanti” berhubungan dengan perjalanan menuju kedewasaan, masa di mana seseorang mulai menghadapi keputusan penting dalam hidupnya, belajar dari pengalaman, dan membentuk karakter serta integritas. Ini adalah masa pencarian jati diri yang lebih mendalam, dan penuh dengan keinginan untuk mencapai tujuan hidup.
  4. Sinom:
    “Sinom” melambangkan masa dewasa yang lebih matang, di mana seseorang mulai merasakan konsekuensi dari pilihan hidup yang telah dibuat. Tembang ini mengandung makna kedewasaan, keteguhan hati, dan kesiapan untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi dalam kehidupan. Dalam tahap ini, seseorang sudah mulai menjalani kehidupan dengan lebih bijaksana dan mendalam.
  5. Asmarandana:
    Tembang “Asmarandana” mengungkapkan fase kehidupan yang penuh dengan hasrat dan cinta, baik itu cinta kepada pasangan, keluarga, maupun kehidupan itu sendiri. Biasanya, ini menggambarkan kedalaman perasaan, serta pergulatan antara emosi dan kebijaksanaan dalam menjalani hidup. Fase ini juga sering dikaitkan dengan hubungan cinta yang penuh gairah, namun juga dengan tantangan-tantangan yang mematangkan seseorang dalam relasi dan perasaan.
  6. Gambuh:
    Fase ini berhubungan dengan puncak kedewasaan dan pengendalian diri. “Gambuh” adalah fase yang mengajarkan tentang keseimbangan hidup, kemampuan untuk mengatasi cobaan, serta keteguhan dalam menghadapi segala rintangan. Pada masa ini, seseorang mulai lebih bijaksana, memiliki ketenangan batin, dan mampu menghadapi berbagai permasalahan dengan kepala dingin.
  7. Megatruh:
    Tembang “Megatruh” melambangkan perpisahan atau kematian. Pada fase ini, seseorang dihadapkan pada kenyataan bahwa kehidupan di dunia bersifat sementara. “Megatruh” mencerminkan pelepasan dan kesadaran akan akhir perjalanan hidup, baik itu secara fisik maupun spiritual. Fase ini sering dikaitkan dengan transisi dari dunia fisik ke dunia yang lebih spiritual.
  8. Pucung:
    Tembang terakhir ini menggambarkan kematian atau perpisahan yang merupakan bagian dari siklus kehidupan yang tidak terelakkan. “Pucung” melambangkan akhir dari kehidupan duniawi dan awal dari perjalanan menuju alam lain, sesuai dengan kepercayaan spiritual Jawa yang mempercayai adanya kehidupan setelah mati. Tembang ini mengajarkan penerimaan terhadap takdir dan ketidakabadian dunia.

Secara keseluruhan, filosofi Jawa Macapat mencerminkan perjalanan hidup manusia dari kelahiran, pertumbuhan, kedewasaan, hingga kematian. Melalui tembang-tembang ini, orang Jawa mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang penuh makna, seperti kedamaian batin, kebijaksanaan, dan penerimaan terhadap siklus kehidupan yang terus berputar.

Berita Terkait